Langit malam tampak lebih indah dari
biasanya saat bulan purnama yg benderang ada disana. Aku dan Irwan berbaring
tenang di atas mobil pick-up milik Irwan yang tengah mencoba untuk menghitung
bintang -bintang yg bertaburan. Ia terus mengulangi hitungannya dari awal tiap
kali aku menyela, dan ia tampak cukup kesal.
“Irwan, berisik ah! Kamu nggak bakal
bisa hitungin bintang sebanyak itu..”
Irwan berhenti menghitung lalu
menghela nafas panjang, “Oke… Aku berhenti, tapi kamu harus jawab pertanyaanku
dulu!”
“Oke, siapa takut?? Fisika? Kimia?
Aku jagonya!”
“Ihh, bukan soal pelajaran tau!
Dengar ya.. Apa bedanya bintang kejora dengan mata birumu??”
“Hmm, ya iyalah beda. Itu ‘kan
bintang, kalo ini mata..”
“Eits, salah! Jawabannya, kalau
bintang kejora itu menerangi banyak orang di bumi tiap malam hari. Nah, kalau
mata birumu itu menerangi hidup, jiwa, dan hatiku tiap hari, tiap jam, dan tiap
detik”
Aku tertawa, “Rayuan palsuu”
“Ihh, serius! Tau ngga, kalo langit
itu seharusnya malu sama aku??”
“Lho, memangnya kenapa?”
“Karena.. Bintang-bintang yang
langit punya itu kalah indahnya sama mata biru kamu!”
“Eh, tapi kamu sayang sama aku bukan
cuma gara-gara mata biru aku ‘kan??
Irwan menggeleng dgn penuh
keyakinan, “Ya jelas bukan. Aku sayangsama kamu itu ya karena diri kamu
sendiri, Winda”
Aku dan Irwan sama-sama tersenyum
dan suasana pun hening sejenak.
Irwan mengecup keningku dan…
*
BRUK..!!
“Aduh!|
Aku terbangun dan lagi-lagi karena
jatuh dari tempat tidur.
Aku pun mencoba untuk berdiri walau
sulit karena selimut tebalku melilit tubuhku dan aku harus melepaskannya
terlebih dahulu.
Pintu kamar lalu terbuka, “Winda,
kamu jatuh dari ranjang lagi?” tanya Mama.
Ya, pintu kamarku memang tak pernah
ku kunci agar Mama bisa leluasa keluar masuk kamarku untuk membangunkanku yang
walau sudah berumur 23 tahun ini masih saja tidak bisa bangun pagi. Dan untuk
lima hari ini, ia tak perlu lagi repot-repot membangunkanku karena sudah lima
hari ini aku terjatuh dari tempat tidur tiap pagi dan hal itu membuatku bangun
dengan sendirinya.
“Terus saja seperti itu. Jadi Mama
tidak perlu membangunkanmu lagi tiap pagi” lanjutnya dengan mimik wajah senang.
Aku cemberut, “Anaknya kesakitan kok
malah senang sih, Ma. Lama-lama bisa encok nih!”
“Haha, ada-ada saja. Kamu itu masih
muda, belum waktunya encok segala. Mendingan kamu cepat-cepat mandi, deh. Terus
antar adikm ke sekolah. Mama mau siapin sarapan buat kalian dulu”
Aku hanya mangut-mangut sambil
berjalan santai ke dalam kamar mandi, menyalakan shower dan percikan air hangat
pun membasahiku.
Namun, pikiranku kembali tertuju
pada mimpiku tadi. Momen itu terjadi enam tahun lalu saat aku dan Irwan
merayakan usia hubungan kami yang menginjak 13 bulan lamanya.
Irwan memang selalu memuji mata
biruku yang ku punya secara alami sejak lahir ini. Dan mungkin tak hanya Irwan,
tapi semua orang pun akan memuji mata biru yg orang Indonesia biasanya tak
miliki. Sedangkan aku bisa memilikinya walau tak ada keturunan orang asing atau
berdarah campuran dari negara manapun. Tapi, untuk saat ini hal itu tak penting
untuk dibahas karena ada yg lebih membuatku reash akhir-akhir ini — Irwan.
Aku terus bertanya-tanya apa maksud
dari semua ini. Memimpikan kenangan lamabersama orang yg tidak pernah ku temui
lagi enam tahun lamanya dalam lima hari berturut-turut tentu bukan hal yg
biasa.Aku bahkan tak pernah sedikitpun mengungkit-ungkit tentang Irwan
akhir-akhir in. lalu, ada apa?.
Irwan sesungguhnya adalah cinta
pertamaku saat aku masih berumur 14 tahun dan masih tinggal di kota Malang. Dan
tepat ketika aku berumur 17 tahun, aku pergi meninggalkannya ke Jakarta dengan
alasan untuk berkuliah disana sekaligus karena Papaku yang merupakan seorang
pelatih sepakbola direkrut oleh salah satu klub sepakbola di Jakarta. Kisah
kasihku dengannya pun secara otomatis berakhir begitu saja tanpa banyak kata
terungkap dari bibirku seiring aku tak pernah menghubunginya lagi.
Terdengar begitu singkat memang,
tapi rasanya akan terlalu panjang jika aku harus menjelaskannya secara
mendetail. Dan kini momen-momen manis bersama Irwan itu merasuk ke dalam
mimpi-mimpiku dimalam hari seakan menghantuiku dan tak rela untuk dilupakan.
“Windaa..!!” suara Mama menggelegar
dari ruang makan.
Aku yang baru saja selesai
berpakaian sambil terus memikirkan mimpi-mimpi itu segera menghampirinya dalam
waktu kurang dari 1 menit dan tanpa ragu aku pun mencomot omelet ayam yang
tersaji di atas meja makan.
Sabdra, adikku, yang tampaknya baru
selesai sarapan dengan menu sereal kesukaanna menatapku dengan wajah bingung.
“Kaka hari ini nggak kuliah?”
Aku menggeleng, “Ada pekerjaan,
hehehe. Hari ini kakak dapat panggilan untuk menyanyi di 2 acara pernikahan.
Nah, nanti malam, kakak juga harus nyanyi di kafe kayak biasa. Gimana? Jadwal
kakak full banget kayak selebriti ‘kan? Sampe-sampe ga sempat kuliah”
Mama tiba-tiba mencubit pipiku,
‘Jangan mentang-mentang karena kamu sudah S1 dan punya pekerjaan, kamu jadi
malas nyelesein S2 kamu, ya!”
Aku meringis kesakitan sambil
senyum-senyum, “Yayaya, aku ngerti. Bawel ah, aku mau manasin mobil dulu. San,
kamu kalau sudah siap langsung ke depan yaa!”
Sandra hanya mengangguk pelan dan
aku berlari-lari kecil keluar menghampiri mobilku yang terparkir di halaman
rumah.
Tiba-tiba saja handphone-ku
berdering saat aku mulai memanaskan mobil. Dan, oh, panggilan dari Papaku.
“Hai, Pa”
“Winda, kamu bisa datang ke tempat
Papa ngelatih bola?”
“Hah? Buat apa?”
“Datang aja. Lagipula kamu juga ga
ada kerjaan ‘kan jam segini?”
“Iya sih, tapi aku mau antar Sandra
ke sekolah dulu ya, Pa?”
“Oke, Papa tunggu” Papa mengakhiri
pembicaraan.
Sandra datang menghampiriku, “Itu
tdi tekpon dari Papa, ya?”
“Yap. Memangnya kenapa?”
“Papa bilang apa kak?”
“Cuma nyuruh kakak datang ke tempat
Papa ngelatih bola”
“Ohh, aku boleh titip pesan buat
Papa nggak??”
“Boleh dong, apa pesannya?”
“Belikan aku boneka Barbie yang baru
soalnya yang lama sudah rusak”
Aku mengacak-acak poni adik
perempuanku satu-satunya yang baru berumur 7 tahun itu, “Pasti kakak
sampaikan, kok. Tapiiii… Sekarang kamu harus masuk mobil dalam hitungan ketiga
dan kita akan berangkat! Satuu.. Dua.. Tiga..!!”
Sandra pun sudah duduk manis didalam
mobil.
Alu memasang sabuk pengaman dan..
Brrmm! Mobilku melaju ke sekolah Sandra.
“Kakak nanti jemput aku atau nggak?”
Aku berpikir sejenak, “Kakak nggak
bisa pastikan sekarang. Nanti kamu telpon kakak aja”
“Memangnya kakak sibuk, ya?”
“Ya begitulah..”
“Lebih sibuk mana, penyanyi atau
dokter??”
Aku mengernyitkan dhi, “Pertanyaanmu
kok aneh begitu?”
“Aku punya teman yang namanya sama
dengan kakak..”
“Ohh ya? Namanya Winda juga?”
Sandra mengangguk, “Kakaknya Winda
itu dokter. Dokter ‘kan punya banyak pasien, tapi kok kakaknya Winda selalu
bisa antar jemput Winda kemanapun dia pergi. Sedangkan aku, kakakku penyanyi,
itupun bukan penyanyi terkenal. Tapi kakak jarang sekali bisa antar jemput aku”
ujar Sandra panjang lebar.
Aku terdiam sebentar, sebeleum
akhirnya menemukan sesuatu untuk dikatakan, “Kamu tahu? Kamu beruntung
masih punya kakak yang bisa antar jemput kamu, walau jarang. Kalau dulu, kakak
nggak pernah tuh, diantar jemput siapapun. Sampai akhirnyaa…” aku tiba-tiba
menghentikan pembicaraanku.
“Sampai akhirnya apa kak??”
Tak terasa kami sudah sampai di
depan sekolah Sandra, aku menghela nafas lega, “Lupakan deh, mulai sekarang
kakak akan coba untuk terus antar jemput kamu dan sekarang mendingan kamu
turun, masuk ke kelas, terus belajar yang rajin. Oke??”
Sandra pun segera turun dari mobil
tanpa banyak omong.
Aku menyandarkan tubuhku dikursi
moil dan memejamkan mata untuk sesaat, melanjutkan kata-kataku yang belum
selesai, “Sampai akhirnya aku bertemu Irwan dan ia pun dengan tuklus mengantar
jemputku kemanapun aku mau.. Ya Tuhan, enam tahun sudah berlalu dan aku hampir
berhasil melupakannya tapi …” kalimatku terhenti lagi.
Mobil itu. Ya, mobil pick-up yg
berhenti didepanku saat ini persisi seperti mobil pick-up milik Irwan. Berwarna
merah, dengan plat.. Hei, aku jadi ingin tahu plat mobil pick-up di depanku
ini… I 12 WAN?!!
Tidak salah lagi, ini mobil Irwan!.
Aku segera menyalakan mesin mobilku
seiring mbil picl-up itu mulai berjalan menjauh.
Aku harus mengejarnya, gumamku.
Pikiranku melayang, mengingat salah
satu hari terindah dalam hidupk, sementara mataku tetap terfokus mengikuti arah
kemana mobil pick-up itu pergi…
*
Bukannya berhenti, hujan justru
menjadi makin deras. sesekali terdengar suara petir menyambar disana-sini,
kedeipan kilat pun jadi bagaikan lampu disko yg menambah gundah hatiku.
Jam tanganku menunjukkan jam 6 sore.
Langit pun makin lama jadi makin gelap tertutup awan hitam yg menakut-nakutiku,
seakan mentaru telah lenyap dari alam semesta. Aku belum beranjak dari halte
depan sekolahku sejak tiga jam yang lalu hujan mulai turun dan hingga kini tak
kunjung berhenti. Dan angkutan umum yg ku tunggu sedari tadi tampaknya
juga tak kunjung datang.
Telepon genggamku tertinggal di
rumah dan menambah rumit suasana. Andai saja aku tak lupa membawanya, mungkin
saat ini seseorang telah menjemputku. Dan ku jamin, saat ini Mamapasti sedang
cemas bukan main. Sayang, Mama tak bisa mengendari mobil, sementara Papa sedang
berada di luar kota membimbing klub sepakbola asuhannya bertanding. Tapi, apa
daya aku bahkan tak rela hujan-hujanan untuk menghampiri telepon umum yg ada di
seberang sana.
Menit demi menit berlalu, mataku
terpejam karena kelelahan. Tampaknya malam ini aku harus tidur disini,
pikirku.
Tiba-tiba sesuatu yang tebal
menutupi badanku. Aku membuka mataku dan.. “Irwan? Kamu…” jari telunjuk Irwan
langsung berada tepat didepan bibirku, ‘Sst..”
Aku memeluk badannya yg basah kuyup
karena kehujanan begitu erat, “Kamu naik motor hujan-hujanan? Mana mobil
kamu?”
Irwan mengangguk, “Mobilku ‘kan
sedang di bengkel”
“Tapi kok jaket ini kering?” aku
memegang jaket yg td iapakaikan padaku saat aku hampir terlelap.
“Aku taruh jaket itu di bagasi
motorku, aku tahu pasti kamu lagi kedinginan, makanya aku bawa jaket itu, walau
sebenarnya aku juga perlu. Tapi kalo buat kamu, apa sih yg nggak? Hehehe”
Aku tercengang memandangi Irwan. Di
saat seperti ini saja ia masih bisa tertawa untukku, “Darimana kamu tahu aku
disini? Bukannya kamu baru pulang dari Bandung?”
“Iya, aku sampai di Malang jam 3
sore tadi. Aku istirahat sebentar dan telpon kamu. Tapi kok nggak diangkat?”
“Handphoneku ketinggalan di rumah..”
“Ohh, pantas. Tadi, aku bingung
kenapa kamu nggak angkat, jadi aku langsung ke rumah kamu, soalnya aku juga mau
nganterin oleh-oleh yg aku bawa dari Bandung. Sampai disana, Mama kamu bilang
kamu belum pulang. Aku tungguin deh disana, tapi makin lama hujan makin deras,
kamu nggak pulang-pulang juga. Aku jadi khawatir, aku cari kamu ke semua rumah
temen-temen kamu, tapi nggak ada. Sampai akhirnya aku nemuin kamu disini. Aku
lega banget Win, aku takut kamu kenapa-kenapa” ia mendekapku, aku bisa
merasakan rasa kekhawatirannya dari tatapan dan cara ia bicara. Namun aku masih
terus memikirkan bagaimana ia melakukan semua yg dilakukannya itu dgn
berhujan-hujanan.
“Kamu selama sejam penuh nyariin aku,
Wan??”
“Iya. Lihat deh, aku gemetaran
begini. Dingin banget.. Kita langsung pulang aja deh, ya”
Irwan tersenyum sambil terus
menggigil kedinginan. Ia pun naik ke motor.
“Eh, ngomong-ngomong oleh-oleh
buatku mana??” tanyaku.
Raut wajah Irwan langsung berubah
menjadi serius, ia nampak kebingungan dan terus berpikir keras, hingga ia
menepuk dahinya, “Astaga! Ketinggalan di rumah temenmu itu, si Sinta! Aduh, ya
udah sekarang aku antar kamu pulang dulu, ya, terus aku ambil oleh-olehnya”
Aku geleng-geleng kepala, menahan
tawa. Bagaimanapun, ia selalu bisa membuat keadaan serumit apapun menjadi
begitu menyenangkan..
*
Tanpa ku sadari air mataku mengalir
begitu deras, mengenang kenangan itu. Aku menyadari betapa bodohnya aku saat
pergi meninggalkannya begitu saja, tanpa sepatah kata pun yang terucap. Aku
juga sadar, saat itu cinta yg ia miliki benar-benar tulus untukku, dan apa
balasannya? Aku pergi dan membiarkannya mencari-cariku yg tanpa ia ketahui
telah berlalu ke Jakarta. Dan kini hukum karma tampaknya tengah ku terima.
Aku mengusap air mataku sambil terus
memandangi mobil pick-up merah yg aku harap ada Irwan didalamnya itu dan.. Hei,
mobil itu berhenti di tempat tujuanku. Ya, itu tempat Papa melatih sepakbola
bersama klub asuhannya.
Pintu mobil pun terbuka, jantungku
berdegup kencang namun.. Papa! Argh, ia muncul dan menghadang mobilku. Mau tak
mau, aku pun harus keluar dari mobil dan menghampirinya.
“Halo, Pa!” sapaku.
“Hei, kamu tadi kelihatannya tidak
berniat berhenti disini. Bukannya Papa tadi minta kamu untuk nemuin Papa, ya?”
Papa lalu memerhatikanku dari ujung
kaki sampai kepala dgn penuh curiga, “Mobil pick-up merah yg barusan pergi
itu??”
Aku tak mersepon, hatiku benar-benar
ingin mengejar mobil itu, namun tak mungkin.
“Mobil seperti itu tak hanya satu di
dunia ini, Winda” lanjut Papa. Ia tahu pasti betapa aku merindukan Irwan,
karena ia pun tahu, sejak pergi dari Irwan, aku tak pernah lagi menjalin
hubungan dengan lelaki manapun.
“Tapi, Pa..”
“Sudahlah. Papa mau kamu relakan
Irwan, lupakan dia. Ayo, sekarang kamu ikut Papa”
Aku pun dengan kepala tertunduk
mengikuti Papa ke lapangan sementara para pemain tengah sibuk pemanasan.
“Papa ingin kamu jadi asisten
pelatih”
Aku mengernyitkan dahi, “Secepat
ini?”
“Kamu sudah sangat mengerti dan
menyukai sepakbola ‘kan? Papa yakin kamu bisa. Dan untuk beberapa hari ini,
Papa akan mengajarkan kamu bagaimana caranya menjadi seorang pelatih sebelum
kamu benar-benar jadi asisten Papa. Dan dengan satu syarat, kamu nggak boleh
kasih tahu Mama”
Aku hanya bisa mengangguk, sejujurnya
aku memang suka dgn pekerjaan ini, lagipula aku tak punya alasan untuk
menolaknya.
“Ayo, Papa mau kenalkan kamu ke
semua pemain”
Aku menggaruk-garuk kepalaku yg
sebenarnya sama sekali tak gatal, kebingungan, Ada sedikit perasaan nervous
didalam dada. Papa lalu memanggil para pemain untuk berkumpul sejenak.
“Selamat pagi semua”
“Pagiiiiiiii” sahut mereka.
“Mulai hari ini, kita akan punya
asisten pelatih baru, atau lebih tepatnya calon asisten pelatih, yang mana
merupakan anak saya sendiri. Karena untuk sementara waktu, saya kira dia akan
perlu menyesuakan diri terlebih dahulu”
Papa lalu mempersilakan aku untuk
mengenalkan diri, ah, ini hal yg paling tidak aku sukai.
“Halo semua, nama saya Winda
Carolina. Calon asisten pelatih kalian. Mohon bantuannya, ya” kataku singkat.
“Oke, ada pertanyaan? Kalau tidak
ada, kita akan mulai latihan”, Papa lalu mempersilakan seorang pemain yg
menangkat tangannya untuk bertanya. Cih, seperti anak SD saja harus angkat
tangan, bisikku dalam hati.
“Coach Winda, sudah punya pacar
belum??”, mendengar lelucon itu, sontak saja seluruh pemain tertawa, bahkan
Papa pun juga ikut tertawa. Aku hanya tersenyum tersipu, namun bukan karena
pertanyaan itu, melainkan karena ia telah memanggilku ‘Coach Winda’ yang
membuatku merasa bagai melayang diudara.
“Oke, saya kira kita bisa mulai
latihan sekarang”
Para pemain lalu mulai mengikuti
tiap-tiap instruksi dari Papa sementara aku terus memikirkan bagaimana caranya,
bagaimana caranya untuk menemukan Irwan..
*
Aku meniup api diatas enam belas
lilin kecil yg menghiasi kue ulangtahunku. Teman-temanku bersorak, bertepuk
tangan dan menyanyikan lagu selamat ulangtahun tanpa henti. Papa dan Mama yg
berada disebelah kanan dan kiriku mengecup kepalaku secara bergantian. Tapi aku
tak menampakkan ekspresi senang, karena sejauh mata memandang, aku tak melihat
Irwan datang ke pesta. Padahal, tadi pagi ia menelponku dan berjanji akan
datang jauh sebelum pesta ulangtahunku dimulai.
“Jo, Irwan mana?” aku menghampiri
Johan, sahabat dekat Irwan.
Namun Johan hanya mengangkat kedua
bahunya, mengisyaratkan bahwa ia tidak tahu sambil terus melahap sepotong kue
ulang tahun yg baru saja dipotong dan dibagikan.
Aku keluar dari ruangan,
meninggalkan teman-temanku yg tampaknya akan tetap bisa bersenang-senang walau
tanpa aku. Bukannya aku marah, hanya saja aku masih menanti-nanti Irwan yg
entah kemana.
Aku memandangi layar handphone,
berkali-kali sudah aku mengirimkan pesan singkat, berkali-kali pula aku mencoba
untuk menelpon Irwean, namun tak ada respon atau jawaban.
Hatiku rasanya ingin menjerit.
Perasaan marah, bingung, sedih, cemas dan kecewa bercampur aduk membuat resah.
Aku akhirnya membalikkan badan dan
berniat kembali masuk ke dalam rumahku, bergabung dgn teman-temanku yg
berpesta..
“Windaaaa!!!”
Aku menghentikan langkah. Aku kenal
suara itu dan.. benar saja. Aku menoleh dan melihat Irwan keluar dari sebuah
mobil mewah dibopong oleh seorang bapak-bapak yg tampak seperti seorang pejabat
kaya.
Aku melirik lutut kaki kira Irwan yg
ia tekuk dan penuh dgn luka, ia hanya berjalan dgn satu kaki & itupun
dibantu oleh orang yg tak aku kenal itu.
Aku segera menghampirinya, siku
kedua tangan Irwan pun ternyata penuh luka dan ada sedikit luka memar dipipi
kanannya. Aku tak tahu apa yg barusan terjadi, namun Irwan tampak baru saja
mengalami kecelakaan motor. Mobil pick-up yg biasa digunakannya memang masih
berada di bengkel.
“Kamu kenapa??” tanyaku.
Irwan justru merespon wajah cemasku
dgn senyuman lebar yg indah, ia lalu menyodorkan setangkai bunga mawar dan
sebuah boneka beruang coklat besar padaku, “Maaf aku terlambat, aku juga nggak
bisa lama-lama. Satu hal yg perlu kamu tahu, aku sayang sm kamu. Aku td
ditabrak lari sama mobil, untung banyak warga yg mau nyelametin aku dan
akhirnya ada orang baik seperti Pak Ahmad yg bersedia nolong aku. Dia tadinya
mau langsung anterin aku ke rumah sakit, tapi aku minta dia utk nganterin aku
kesini dulu untuk kasih kado buat kamu. Aku minta maaf ya, dihari ulangtahun
kamu aku nggak bisa nemenin kamu karena hali ini. Tapi aku yakin kamu bisa ngerti.
Kamu tau ‘kan gimana rasanya ditabrak mobil, hehehe. Selamat ulang tahyn, Wina.
Sekarang aku harus ke rumah sakit, sekali lagi aku minta maf” Irwan lalu
mengecup keningku. Aku tak tahu apa yg harus ku katakan selain berterima kasih
pada Pak Ahmad yg mau menolong kekasihku yg terluka ini. Ia lalu tersenyum
sesaat kepadaku dan kembali membopong Irwan masuk ke dalam mobil.
Aku memandanginya, Irwan terlihat
melambaikan tangannya padaku dari dalam mobil, membuatku menitikkan air mata
haru. Ia sudah mau repot-repot menyampaikan kado untukku walau dalam keadaan
terluka parah seperti itu, dan aku yakin hal itu sebenarnya tidak mudah. Irwan
punsama sekali tak menunjukkan mimk kesakitan ataupun kesusahan, ia bahkan
masih sempat tertawa.
Aku memluk erat boneka beruang
coklat besar yg lembut itu, bnga mawar ygia berikan pun ku dekatkan ke hidungku
untu untuk menghirup wangi ketulusan cinta Irwan.
Hari ini akan menjadi hari ulang
tahun terindah yg akan ku ingat untuk selamanya. Selamanya.
*
Mataku terbuka secara tiba-tiba.
Kali ini, aku bangun dgn sendirinya tanpa perlu jatuh dari ranjang. Namun,
lagi-lagi aku memimpikan salah satu momen terbaik yg menjadi kenangan terbaik
pula.
Aku segera mengambil kursi dan
menarhnya dekat lemari, aku naik ke atas kursi itu dan mengambil kotak besar yg
ada diatas lemari penuh perjuangan.
Kptak besar itu kutaruh diatas
tempat tidur.
Didalamnya, masih tersimpan dengan
apik semua yg perna Irwan berikan untuku, ternasuk boneka beruang coklat besar
yg kini warnanya sudah pudar itu. Namun, setangkai bunga mawar yg pernah ia
berikan sudah taka ada lagi karena layu seiring berjalannya waktu.
Aku kembali memeluk erat boneka itu
dan mengingat pertama kali aku memeluknya, aku belum pernah melupakan hari itu.
“Irwan..” bisikku, seakan berharap
ia yg tak ku ketahui keberadaannya dapat mendengar isak tangisku yg mulai
pecah.
Aku masih ingat, keesokan harinya
setelah hari ulangtahunku, aku menjenguk Irwan yg akhirnya harus dirawat inap.
Ia meyakikanku bahwa ia tak apa-aopa, dan hanya sedikit terkilir.
Namun, ia memang selalu berbohong
demi kebaikan. Karena saat aku menanyakan apa yg terjadi pd Irwan dgn dokter,
dokter justru memberitahuku bahwa tulang kaki kiri Irwan telah patah disebabkan
kecelakaan itu.Senyumanku dirusak oleh kesedihan, aku masih sangat terpukul
tiap kali mengingatnya, membayangkan betapa ia menahan sakitnya patah tulang
demi menjaga perasaanku dan membuatku tersenyum. Padahal aku sendiri tahu,
patah tulang itu sakitnya bukan main. Aku sendiri menangis semalaman saat aku
mengalami patah tulang waktu kelas 1 smp karena terjatuh dari tangga, sedangkan
dia? Raut wajah lesu pun sama sekali tak ada dan ia justru memancarkan sinar
kebahgiaan dari kedua bola matanya, meyakinkan bahwa ia tak terluka.
“Winda.. Papa..”
Aku yg terkejut akan kedatangan Papa
yg tiba-tiba masuk ke dalam kamarku segera mengusap air mataku. Ia tak boleh
melihat boneka beruang ini maupun benda-benda lain yg pernah jd tanda cinta
Irwan padaku. Namun terlambat.. raut wajah Papa berubah dalam seketika, aku bisa
melihat kemarahan dari sorot matanya, aku pun tak dapat berbuat apa-apa saat ia
berusaha merebut boneka kesayanganku,
“Papa, jangan, Paaa..”
“Sudah berapa kali Papa bilang,
BUANG SAMPAH INI!!!” Papa membentakku tanpa ampun, aku terus berusaha mempertahankanboneka
dan kotak berisi segalanya yg pernah Irwan beri itu, namun apa daya, tenagaku
bahkan tak lebih kuat dari Papa yg dengan mudahnya merebut semua itu.
Ia keluar dari kamarku dan mengnci
pintunya, tampaknya Papa akan segera membakar barang-barang kesayanganku itu,
dan sekeras apapun aku menggedor-gedor pintu kamarku, berteriak mengemis
siapapun yg ada diluar untuk membukakan pintu, semua itu sia-sia. Namun aku
masih tak peduli, aku terus menjerit, mengeluarkan segalanya yg ada dihatiku,
memohon Papa untuk tidak membuang barang-barang kenangan itu, berjam-jam, tanpa
ada yg mersepon. Hari demi hari pun berlalu dan masih tak ada jawaban dari luar
sana, aku bahkan sudah merasa seperti orang gila, hingga akhirnya suaraku habis
dan tak mampu untuk bersuara lagi.
Mataku kelelahan, entah berapa lama
aku tak tidur dan menghabiskan waktuku disini untuk menjerit, dan mengamuk
seperti orang gila. Aku melihat ke sekelilingku, kamarku tak terlihat seperti
sebuah kamar lagi, melainkan lebih mirip layaknya kapal pecah. Segalanya yg
terbuat dari kaca telah hancur ku pecahkan, dan aku rasa tak ada orang lagi
diluar sana. Entah kemana Papa, Mama, dan Sandra pergi meninggalkanku. Aku tak
pernah lagi mendengar suara-suara apapun dari luar sana yg menandakan bahwa ada
seseorang yg beraktivitas, suasana begitu hening. Listrik pun tampaknya telah
diputus sejak kemarin malam, aku menyadari bahwa AC-ku bahkan tak menyala lagi,
dan akhirnya aku pun melewati malam-malamku bersama kegelapan.
Aku menyandarkan tubuhku ke dinding,
entah jam berapa saat ini. Jam dinding di kamarku terlanjur aku rusak, aku juga
tak bisa melihat jam di handphone-ku yg telah ku banting berkali-kali dan
akhirnya rusak. Aku tak bisa menghubungi siapa-siapa, aku tak bahkan terlalu
lemah untuk mendobrak pintu dan kabur, karena sudah berhari-hari aku tak makan.
Aku mencoba untuk bernyanyi memecah
keheningan, namun lagi-lagi aku gagal. Kemungkinan besar aku sudah bisu,
kemungkinan besar pula aku akan mati didalam kamar menyedihkan ini, karena
Irwan….
*
Hujan tengah menerpa malam ini tanpa
ampun, angin membawa tiap-tiap tetesan air hujan masuk ke teras rumahku dimana
aku berdiri. Aku memandangi langit malam yg tanpa bintang, melainkan kilat dan
suara petir menyambar dimana-mana. Sweater tebal berwarna merahmarun yg aku
kenakan ini bahkan tak benar-benar membuatku terlindung dari dinginnya udara yg
menusuk pori-pori.
Papa secara perlahan mengendarai
mobil keluar dari garasi, dan menghampiriku yg menantinya di teras rumah sambil
terus memeluk boneka beruang coklat besar pemberian Irwan diulangtahunku ke-16
lalu.
Semua koper telah ku masukkan dalam
bagasi mobil, dan aku pastikan tak ada yg terlupa selain..
“Kamu sudah beritahu Irwan malam ini
kita berangkat?” tanya Papa dari dalam mobil, aku yg masih berdiri linglung di
teras rumah tak menjawab. Aku sama sekali tak memberitahu Irwan tentang
kepergianku ke Jakarta, bahkan saat tadi sore ia mengajakku ke danau seperti
biasa. Aku tak menampilkan wajah seakan akan meninggalkannya, aku tak berani
merusak kebahagiaannya, dan menurutku pergi tanpa sepatah kata adalah jalan
terbaik. Walau aku tahu, ini pun juga akan menghancurkannya. Namun aku tak
cukup kuat untuk menjalin kasih bersamanya secara jarak jauh. Dan aku juga tak
mau memutuskan indahnya hubungan yg telah kami jalin 3 tahun lamanya ini.
Jantungku berdegup kencang, aku rasa
aku tak siap untuk melakukan hal ini, tapi aku harus…
Telepon genggamku berdering dan..
Irwan menelponku.
“Itu pasti Irwan. Lebih baik kamu
angkat” tebak Papa yg masih menungguku didalam mobil.
Walau ragu, akupun akhirnya
mengangkatnya juga, namun beranjak menjauh terlebih dahulu dari Papa, aku tak
mau Papa tahu bahwa aku dan Irwan belum putus.
“Hai Wan” sapaku.
“Winda, kamu dimana sekarang?”
“Dihatimu sayang, hahaha. Aku ada di
rumah. Kenapa?”
“Ohh, syukurlah.. Jangan kemana-mana
yaa, malam ini hujannya deras sekali, anginnya juga kencang..”
“Iyaa, Wan”
Irwan terdiam sejenak, “Hmm..
Winda?”
“Iya??”
“Hmm.. Kamu tau rasanya kehilangan
‘kan?”
“Yaa, aku tahu”
“Aku nggak mau ngerasain hal itu.
Apalagi kehilangan kamu. Pasti rasanya sakit. Kamu ingat saat janji kita di
danau tadi ‘kan? Kamu juga ingat apa yg kita ukir di pohon tadi ‘kan?”
“Iyaa, aku ingat” ucapku dgn
perasaan bersalah, terlebih saat mengingat momen tadi sore..
Aku dan Irwan duduk di bawah pohon
rindang di tepi danau, ia memeluk pundakku sambil berbicara tentang kisah-kisah
cinta abadi yg melegenda di dunia seperti Romeo & Juliet, si cantik dan si
buruk rupa, Cinderella dan pangerannya, bahkan kisah cinta di kapal Titanic yg
sangat tersohor itu. Aku terus mendengarkannya dgn seksama, dan aku menanyakan
apakah kisah aku dan ia akan seperti kisah-kisah cinta abadi seperti yg tadi ia
ceritakan. Dan dengan segala keyakinannya, ia menjawab ‘Tentu, because FIRST
LOVE NEVER DIES, ya ‘kan? Kamu janji akan jadikan aku cinta pertama dan
terakhir??’, aku mengangguk dan kami berdua pun akhirnya mengukir nama kami
berdua di pohon dan menuliskan kalimat ‘FIRST LOVE NEVER DIES’ dibawah nama
kamu berdua..
“Winda?? Kamu disana??” aku terpecah
dari lamunanku saat mendengar suara Irwan.
“Ehh.. Iya, iya. Kenapa?”
“Aku bilang, jangan pernah ingkari
janji itu..”
“Iyaa, aku janji..”
Irwan terdiam lagi, ia terdengar
menghela nafas panjang, “Dan andai suatu saat nanti.. Kamu pegi ninggalin aku..
Kamu harus ingat satu hal, kalau aku.. sayang sama kamu.. selamanya. Dan apapun
akan aku lakukan untuk terus jagain kamu, walau suatu saat nanti aku mungkin
akan kehilangan jejak, dan aku mungkin nggak tahu lagi kamu ada dimana, aku
akan terus cari kamu. Walau yg tersisa cuma batu nisan kamu..”
Air mataku jatuh mendengarnya, dan
KLIK! aku segera mematikan handphone-ku, mengeluarkan SIM Card yg ada didalmnya
dan melemparnya jauh-jauh. Aku tak peduli walau harus mengingkari janjiku
padanaya, seiring aku masuk ke dalam mobil dan Papa mulai mengendarainya
menjauh dari kota Malang yg penuh akan ceritaku bersama Irwan..
Maaf jika aku ingkari janji, FIRST
LOVE NEVER DIES..
*
“Nggaaaaaakkkkk…!!!!! Aku nggak
ingkar!!”
“Winda, sadar, Winda…!!”
Perlahan-lahan kelopak mataku
terbuka, aku berusaha menenangkan diri, menyadari apa yg barusan ku lihat dalam
mimpi, sebuah momen saat aku pergi meninggalkan Irwan.. Mataku silau oleh
cahaya lampu, entah berapa lama aku terjebak dalam kegelapan kamarku, dan..
Dimana aku sekarang?? Dan suara yg tadi, aku yakin suara itu tak asing lagi
bagiku, aku menyadari bahwa ada seseorang duduk ditepi tempat tidur diman aku
berbaring sekarang…
“Kamu sudah sadar, Win??”
Aku termenung. Otakku telah
menemukan jawaban dari semua pertanyaanku selama ini. Aku tak habis pikir
bagaimana carana ia berada disini namun aku tak peduli tentang hal itu karena
yg terpenting bagiku saat ini adlah aku berhasil. Aku berhasil bertemu
dengannya. Sesuatu yg sedari dulu mengganjal hatiku sejak malam itu terasa
mulai sirna seiring aku memerhatikan keindahannya dari ujung kepala sampai
ujung kaki. Mata coklatnya yg dulu selalu menatap mata biruku membuat air mata
mengaliri pipiku. Ia tersenyum, menunjukkan kebahagiaan yg juga ku balas dgn
senyuman, dan tampak tak ada yg berbeda dari senyuman indahnya, sejak pertama
kali bertemu hingga kini entah berapa lama aku sudah tak melihatnya.
Dan detik demi detik berlalu ku
lewati dengan larut dalam suasana, ia juga mulai menjatuhkan butir-butir air
mata seiring aku mulai bangkit dari tempat tidur dan duduk perlahan agar bisa
dengan yakin meyakini hatiku bahwa itu benar-benar… Irwan.
Bukan orang lain, dan ini bukan
mimpi. Ia mendaratkan jemarinya di tiap helai rambutku, membelaiku penuh
sayang.
“Kamu masih ingat aku, Winda?”
“Sekarang katakan padaku kenapa
begitu sulit melupakan kamu?” tanyaku lirih.
“Aku bahkan tak tahu kenapa sangat
sulit menemukanmu?” ia balik bertanya.
“Maafin aku soal itu, tapi semenjak
enam tahun yg lalu, aku masih teguh memegang janji kita”
Raut wajah Irwan berubah, “Enam
tahun? Hmm, oke biar aku luruskan..”
“Maksudmu?”
“Maksudku, tiga tahun yg lalu aku yg
nggak berhenti nyariin kamu akhirnya nemuin alamat rumah kamu. Aku datang
kesana, dengan harapan akan bisa ketemu kamu lagi. Tapi, sesampainya disana,
rumah kamu kosong. Tapi aku punya firasat kuat kaalau kamu ada di dalam.
Akhrinya aku dobrak semua pintu yg terkunci, dan yg terakhir, pintu kamar
kamu.. Aku kaget, aku nemuin kamu terbaring lemah disana, kamu bahkan nggak
sadarkan diri. Ada perasaan bahagia, sih, karena berhasil nemuin kamu. Tapi aku
sedih karena nemuin kamu dgn keadaan begitu. Aku panggil ambulans, bawa kamu ke
rumah sakit. Jadi, kesimpulannya, kamu koma selama tiga tahun ini. Dan aku
terus nungguin kamu disini, megang teguh janji kita” cerita Irwan panjang
lebar.
Aku tak tahu harus berkata apa, yg
jelas aku hampir tak percaya semua itu telah terjadi andai aku tak melihat ke
cermin dan menyadari perubahan-perubahan fisikku.
“Irwan..” aku memeluknya erat-erat,
berjanji tak akan pernah melepasnya lagi.
“Aku nggak mau kehilangan kamu lagi,
kehilangan kamu itu jauh lebih pedih daripada kehilangan dompet tau ngga!”
omelnya, dan seperti biasa disaat-saat serius seperti ini pun ia masih bisa
membuatku tertawa.
“Memangnya kamu pernah kehilangan
dompet?”
“Pernah, tapi ketemu. Ternyata
dompetnya ada didalam kulkas”
“Hah?? Hahaha, serius??”
“Iyaa! Oiya, coba kamu lihat ini”
Irwan menunjukkan sebuah foto rumah minimalis yg indah.
“Apa ini??” tanyaku kebingungan.
“Rumah itu baru aku beli seminggu yg
lalu dari hasil jerih payahku jadi dokter selama ini. Dan kamu tahu?? Ternyata
adikmu itu temannya adikku, yg aku kasih nama Winda juga, hehe”
“Rumahmu? Terus ngapain dilihatin ke
aku? Oiya, selama tiga tahun aku koma, kemana Papa, Mama, dan Sandra??”
“Aku belum mau bahas kemana mereka
bertiga pergi. Yang jelas, rumah yg ada dalam foto itu, akan jadi rumah kita
berdua. Karena aku udah janji, suatu saat nanti saat kamu sadar, aku akan
langsung nikahin kamu! Dan karena sekarang kamu udah sadar, pernikahan kita
akan diadakan se-ce-pat-nya!! Horee..” sorak Irwan.
Sementara aku mengernyitkan dahi,
“Menikah? Secepat ini??”
“Cepat katamu? Hei, kamu itu udah 26
tahun sekarang. Aku nggak mau kamu jadi perawan tua dulu, baru aku nikahin.
Mendingan sekarang kamu tunggu aku disini soalnya aku mau panggil dokter!
Oke??” Irwan berlari keluar, meninggalkan aku yg masih tak percaya akan semua
ini. Namun satu hal yg akan selalu ku ingat, bahwa aku tak akan pernah pergi
darinya lagi.. Selamanya.
*
Sepuluh tahun telah berlalu sejak
hari bertemunya aku dgn Irwan untuk pertama kalinya setelah aku meninggalkannya
begitu saja. Sekarang, aku dan Irwan tinggal di Malang, di rumah dalam foto yg
pernah ia tunjukkan padaku itu. Dan kami sudah menikah, tepat seminggu setelah
aku sadarkan diri dari tidur panjangku, segalanya pun benar-benar berjalan
sesuai apa yg selalu ku impikan. Aku berhasil bertemu lagi dgn Papa, Mama, dan
Sandra setelah suatu hari aku berkunjung ke rumah Pamanku di Malang. Dan, ada
hal lain yg lebih menggembirakan, karena aku sudah punya dua anak kembar lelaki
dan perempuan berumur 9 tahun yg aku bernama Irwin dan Wanda, singkatan dari
nama aku dan Irwan.
Fiuh.. Aku masih tak percaya bahwa
kisah cintaku benar-benar abadi sepert Romeo dan Juliet, si cantik dan si buruk
rupa, Cinderella dan pangerannya, bahkan kisah cinta dalam film Titanic itu. =)
FIRST LOVE NEVER DIES
Tidak ada komentar:
Posting Komentar